Hari Sabtu tanggal 12 Februari 2011, saya dan seorang kolega mendapat kesempatan untuk pergi ke Surabaya. Setelah dengan berbagai pertimbangan maka kami memutuskan naik angkutan umum dari Malang ke Surabaya. Sudah lama sekali saya ke Surabaya tidak naik angkutan umum. Kami berangkat dari Malang sekitar pukul 05.00 dari terminal Arjosari.
Bus dengan trayek Surabaya – Malang, setelah dilihat-lihat kondisinya cukup lumayan bagus dan nyaman. Perjalanan lancar dan tidak menemui hambatan terlebih di daerah Gempol, Porong yang dikuatirkan mengalami kemacetan tidak terjadi.
Sampai di terminal Purabaya aka Bungurasih kami segera mencari bus kota dengan tujuan terminal Joyoboyo. Sesampai di lajur jurusan Joyoboyo, saya perhatikan bus yang ada adalah milik DAMRI dan dari luar cukup lumayanlah. Saya dan kolega memutuskan tidak naik dulu karena masih sepi dan belum ada penumpang. Tidak sampai lima menit, sopir bus berujar ayo pak, naik aja, wes kate budhal. akhirnya kami naik dan di dalam sudah ada satu orang penumpang. Saya lihat sekeliling bus, bodi dan tempat duduk, rasanya sih jadul banget dan sudah terlihat keropos di sana sini. Bus berangkat tidak lama setelah, kami naik. Dengan perlahan bus bergerak keluar dari terminal menuju pemberhentian berikutnya.
Selama perjalanan bus berjalan perlahan, di tengah perjalanan banyak penumpang yang naik terlebih di daerah wonokromo. Membutuhkan waktu 30 menit untuk tiba di terminal Joyoboyo, kami turun di luar terminal dan segera mencari lyn atau bemo yang akan membawa kami ke daerah Mulyorejo. Perjalanan berangkat kami lalui dengan baik dan lancar tapi menemui hambatan. Setelah urusan selesai sekitar pukul 10.15 kami pulang ke Malang.
Perjalanan pulang terasa begitu sangat panjang, menyebalkan, menjengkelkan ketika kami kembali ke terminal Joyoboyo untuk naik bus kota menuju Purabaya. Pukul 11.05 kami sampai di terminal Joyoboyo dan langsung menuju ke jalur bus kota yang akan membawa kami ke Purabaya. Karena dari luar terlihat penuh, maka kami langsung naik dan memilih tempat duduk. Detik demi detik, menit demi menit waktu terus berjalan, tak terasa jam tangan menunjukkan pukul 12.00 dan bus kota belum beranjak dari tempat parkir dengan kondisi mesin masih menyala.
Banyak penumpang yang mulai menggerutu, duh kok lama, duh sek suwene tho rek. Tak terasa kamipun juga mulai menggerutu. Beberapa kali kolega saya berkata, “Ayo, Pak Welly kita keluar saja, cari bus PATAS di depan. memang di luar terminal Joyoboyo ada bus kota ekonomi dan PATAS dari terminal lain yang memang melewati daerah Kebun Binatang. Saya cuma bilang sabar Pak, bentar lagi mungkin berangkat. Ditunggu semenit dua menit, sepuluh dua puluh menit ta berangkat-berangkat, banyak penumpang yang tidak sabar dan memutuskan keluar dari bus dan mencari transportasi lain. Kolega saya mulai tidak sabar dan bilang lagi ayo Pak, kita keluar, saya sekali lagi bilang bentar Pak, rugi kalau kita keluar dan busnya berangkat.
Di dalam bus yang panas dan kondisi bus yang bagi saya, sangat memprihatinkan pedagang asongan silih berganti masuk menawarkan dagangan yang anehnya penjualnya selalu sama.
Belum lagi pengamen bus yang juga menyanyi dengan suara yang tidak enak, jauh dari klantink pemenang IMB I meski mereka juga pengamen jalanan sangat mengganggu sekali.
Bila dibandingkan bus kota waktu berangkat dan pulang ini, sungguh berbeda jauh. Bus waktu berangkat tadi lebih bagus kondisinya meski agak berat untuk mengatakannya. Jika harus diutarakan, kondisinya sangat-sangat buruk, dan terlihat bus ini sungguh sangat jadul sekali, mungkin ketika saya masih kecil, bus ini sudah ada.
Sekitar pukul 12.15 bus kota berangkat, tapi tunggu dulu jangan senang dulu, bus kota hanya beranjak 50 meter dan berhenti lagi, arghhh busyet pikirku. Sudah panas, haus, lapar eh ada bapak-bapak yang sudah tua menyalakan rokok dengan santai. coba bayangkan panas, haus, lapar, asap rokok dan pengamen menyanyi: ah rasanya pengin bus itu saya kemudikan dan saya injak gas dalam-dalam agar cepat sampai di Purabaya.
Setelah menunggu cukup lama sekitar 1,5 jam akhirnya bus kota benar-benar jalan keluar dari terminal Joyoboyo ke Purabaya. perjalanan lancar dan eh di daerah Medaeng terjebak macet sekitar 10 menit. Sesampai di terminal Purabaya, kami langsung cepat turun dan menuju ke toko untuk beli air mineral.
Begitu beli karcis peron kami langsung menuju bus patas malang – surabaya, sebetulnya saya agak gimana naik bus patas, sayang uangnya karena harganya hampir dua kali lipat dari bus ekonomi kerena teman ingin naik patas ya udahlah toh sesekali. Perjalanan pulang ke Malang sebetulnya lancar jika tidak dihadang dengan macet di porong dan gempol hampir 2 jam, pandaan 10 menit karena ada perbaikan jalan. Sepanjang perjalanan pulang, hujan turun dengan lebat tapi tidak merata. Akhirnya, kami sampai di Malang dengan selamat dan saya tiba di rumah pukul 16.30.
Dari perjalanan yang telah saya lalui, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan pemikiran bagi saya:
1. Transportasi di Indonesia masih cukup buruk, armada yang ada sungguh sangat tidak layak terlebih bus DAMRI itu. Bagaimana masyarakat mau beralih ke kendaraan umum yang kondisinya tidak layak.
2. Waktu perjalanan yang sangat lama padahal penumpang butuh cepat sehingga jangan salahkan masyarakat jika akhirnya memilih untuk membeli kendaraan sperti sepeda motor dan mobil. Sepeda motor akhirnya menjadi pilihan utama karena murah dibandingkan dengan dengan kendaraan umum yang kelihatannya murah tapi murahan. Dikatakan murahan karena harga murah tidak tapi fasilitas, pelayanan sangat buruk.
Bagaimana masyarakat mau naik jika jelek begitu, adanya mau naik karena terpaksa. Saya sendiri sebenarnya senang kendaraan daripada bawa kendaraan sendiri.
sebenarnya jika harganya agak mahalan tapi fasilitas, pelayanan, armada yang bagus, tepat waktu, nyaman tentunya masyarakat tidak keberatan untuk naik kendaraan umum.
3. Bulan Mei mendatang tragedi lumpur Sidoarjo aka LAPINDO memasuki tahun 5, dan saya lihat usaha pemerintah tidak maksimal dalam menanggulangi dan termasuk perhatian kepada masyarakat korban bencana itu. Malah sehari sebelumnya yaitu tanggal 11 Februari tanggul sempat longsor sepanjang 50 meter dan mengancam jalur rel KA. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika tanggul itu sampai jebol dan menutup akses jalan Malang – Surabaya. Berapa banyak kerugian yang harus diderita. Jika biaya dibutuhkan untuk menanggulangi lumpur membuat Bakri menjadi jatuh miskin, mungkin memang itulah harga yang harus dibayar untuk kesalahannya.
yah, itulah sekelumit cerita dari saya yang saya jalani pada hari sabtu tanggal 12 Februari 2011.
Malang.14Februari2011.19.51